Review Film Call Me by Your Name – Kisah Cinta dan Identitas yang Menggetarkan

Bicara soal film yang punya cerita mendalam dan emosional, Call Me by Your Name pasti jadi salah satu yang muncul di daftar paling atas. Film yang rilis tahun 2017 ini disutradarai oleh Luca Guadagnino, diadaptasi dari novel terkenal karya André Aciman, dan jadi salah satu karya yang bikin banyak orang terhanyut. Berlatar di Italia tahun 1983, kita diajak masuk ke dalam kisah cinta antara Elio Perlman (Timothée Chalamet) yang masih remaja dan Oliver (Armie Hammer), seorang mahasiswa Amerika yang datang dan tinggal di rumah keluarga Elio sebagai jadi asisten sementara ayahnya hanya selama musim panas.

Bukan cuma soal percintaan, film ini juga menggali banyak hal tentang pencarian jati diri, keinginan yang tak terungkap, dan betapa beratnya rasa kehilangan. Ini bukan sekadar film cinta, tapi perjalanan emosi yang bak rollercoaster, yang kadang bikin kita senyum, kadang bikin hati nyesek.

Review Non-Spoiler

poster resmi film call me by your name

Kalau kamu cari film yang ngga cuma bikin terhibur tapi juga bikin mikir, Call Me by Your Name jawabannya. Film ini punya vibe yang tenang, tapi nggak berarti ceritanya datar atau membosankan. Sebaliknya, setiap adegan penuh dengan emosi yang kuat, tapi disampaikan dengan cara yang subtle dan penuh makna. Hubungan Elio dan Oliver berkembang pelan-pelan, dan itu justru yang bikin ceritanya makin intens.

Sinematografinya? Gila, ini film bener-bener menampilkan keindahan alam Italia yang luar biasa. Dari pohon-pohon zaitun yang rindang, hingga kota kecil yang tenang, semuanya terasa seperti bagian dari perjalanan emosi Elio dan Oliver. Gak jarang kita melihat mereka berdialog sambil menikmati pemandangan indah, dan itu jadi metafora yang tepat banget buat hubungan mereka yang tumbuh dalam kesederhanaan.

Akting dari Timothée Chalamet dan Armie Hammer patut diacungi jempol banget. Timothée, yang memerankan Elio, sukses banget menggambarkan karakter yang masih mencari identitasnya. Mulai dari bingung, canggung, hingga akhirnya bisa menerima perasaan cintanya yang kompleks, dia berhasil banget menggambarkan perjalanan karakter yang penuh konflik batin. Sementara itu, Armie Hammer sebagai Oliver, meskipun sedikit lebih dewasa dan matang, tetap menampilkan sisi manusiawi dari karakternya. Chemistry antara Elio dan Oliver terasa kuat dan bikin kita ikut baper banget!

Oh iya, musiknya juga nggak kalah keren. Lagu-lagu dari Sufjan Stevens yang mengisi soundtrack film ini bener-bener pas banget dengan suasana hati para tokoh. Kamu bakal denger beberapa lagu yang ngga cuma enak didengar, tapi juga menyentuh emosi dalam setiap scene, bikin film ini makin menggigit.

Review Spoiler:

Kalau udah mulai nonton, kamu pasti bakal sadar kalau hubungan Elio dan Oliver itu nggak berjalan mulus. Awalnya, Elio ngerasa bingung banget dengan kehadiran Oliver. Dia nggak tahu harus gimana dengan perasaannya yang mulai berkembang. Tentu saja, Elio juga belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa dirinya punya ketertarikan pada sesama jenis, yang mungkin dia sendiri juga nggak ngerti sepenuhnya. Apalagi, Oliver datang dengan sikap yang sedikit lebih dingin dan misterius, padahal di sisi lain dia juga ngerasain ketertarikan yang sama, cuma nggak bisa langsung ngungkapin perasaan itu karena tahu waktunya terbatas.

Cinta mereka tumbuh dari keingintahuan dan ketegangan, jadi ngga bisa dikatakan mudah. Tapi meskipun keduanya sadar bahwa hubungan mereka nggak akan bertahan lama (karena musim panas itu pasti berakhir), mereka tetep menjalani semuanya dengan penuh gairah dan kedekatan emosional. Salah satu momen yang paling berkesan adalah ketika akhirnya mereka bersatu, dan Elio ngga bisa lagi menyembunyikan perasaannya yang mendalam.

Tapi, yang bikin film ini beda dari cerita cinta pada umumnya adalah ending-nya yang bittersweet. Setelah musim panas selesai, Oliver kembali ke Amerika dan Elio pun merasa kehilangan yang mendalam. Momen klimaksnya adalah ketika Elio duduk sendirian di depan perapian, menangis sambil memikirkan Oliver yang sudah bertunangan dengan perempuan lain. Ini jadi adegan yang benar-benar menyayat hati, karena kita melihat bagaimana Elio benar-benar terbuka pada perasaannya, meskipun harus menerima kenyataan bahwa cinta mereka nggak akan pernah jadi kenyataan.

Momen itu juga adalah puncak dari perjalanan Elio untuk memahami siapa dirinya, dan ini menunjukkan betapa berartinya pengalaman cinta pertama. Bahkan meskipun hubungan mereka cuma berlangsung sekejap, itu jadi bagian dari pencarian identitas dan emosi yang bakal terus melekat sepanjang hidup.

Kesimpulan:

Di balik semua drama dan konflik, Call Me by Your Name adalah film yang berhasil menggambarkan perjalanan cinta dan pencarian jati diri dengan cara yang sangat mendalam dan penuh makna. Bukan cuma soal hubungan antara dua orang, tapi juga soal bagaimana kita menerima diri kita sendiri dan menghadapi perasaan yang datang begitu intens. Film ini ngga hanya bicara soal cinta sesama jenis, tapi juga tentang rasa ingin tahu, kehilangan, dan bagaimana momen-momen kecil dalam hidup bisa memberikan dampak besar.

Dengan akting luar biasa, sinematografi yang memukau, serta musik yang bikin kita makin terhanyut dalam suasana, Call Me by Your Name jelas jadi salah satu film yang bakal terus dikenang sebagai salah satu kisah cinta paling ikonik di dunia perfilman.

Kalau kamu cari film yang bukan cuma buat hiburan, tapi juga bisa ngasih kamu pengalaman emosional dan refleksi diri yang dalam, Call Me by Your Name adalah film yang nggak boleh dilewatkan. Jadi, siap-siap bawa tisu, karena kamu bakal dibawa ikut merasakan perasaan Elio yang penuh cinta dan kehilangan.

gambar yang menampilan elio selaku tokoh utama dalam film call me by your name

P.S. Siap-siap baper banget setelah nonton ini. Jangan bilang kamu nggak diingatkan tentang cinta pertama yang kadang indah, kadang perih, tapi selalu jadi bagian penting dari perjalanan hidup.

Baca juga artikel :
Review Lengkap Film Grave of the Fireflies

By James