Shadowhunters: City of Bones adalah film adaptasi dari novel laris karya Cassandra Clare, The Mortal Instruments: City of Bones. Dengan latar dunia supranatural, konflik keluarga, dan kisah cinta yang rumit, film ini seharusnya memiliki semua elemen untuk menjadi franchise fantasi remaja yang sukses. Namun, kenyataannya tidak semanis harapan. Film ini justru banyak dikritik dan akhirnya gagal di box office, membuat sekuelnya dibatalkan dan waralabanya beralih ke serial televisi.
Lantas, apa yang membuat film ini disebut gagal? Dalam artikel ini, kita akan mengulas film ini secara menyeluruh dalam dua bagian: review non-spoiler dan review spoiler, untuk melihat lebih dalam letak kelemahannya, sekaligus menghargai bagian-bagian yang masih layak diapresiasi.
Review Non-Spoiler
Dari awal, City of Bones sudah menjanjikan dunia gelap yang penuh misteri dan makhluk supernatural. Ceritanya berpusat pada Clary Fray (diperankan oleh Lily Collins), seorang remaja biasa yang tiba-tiba mengetahui bahwa dirinya adalah bagian dari dunia rahasia yang disebut “Shadowhunters”—para pemburu iblis yang setengah malaikat.
Visual film ini cukup menjanjikan. Desain set-nya terlihat ambisius, terutama dalam menggambarkan tempat-tempat ikonik seperti Institute dan klub malam Pandemonium. Kostum dan efek visualnya juga terlihat cukup profesional, meskipun tidak sepenuhnya istimewa.
Namun, kelemahan paling mencolok datang dari alur cerita dan pengembangan karakter. Film ini terlalu padat, mencoba memasukkan terlalu banyak elemen dari novel dalam durasi dua jam, sehingga membuat plot terasa terburu-buru dan membingungkan, terutama bagi penonton yang belum membaca bukunya.
Chemistry antar pemain juga tidak terasa kuat, terutama dalam hubungan cinta segitiga yang seharusnya menjadi salah satu pendorong emosional cerita. Akting Lily Collins sebagai Clary masih bisa diterima, tapi karakter lain terasa datar dan kurang menggugah simpati.
Dari segi tone, film ini juga terasa tidak konsisten—terlalu serius di satu bagian, lalu mendadak ringan dan cheesy di bagian lain. Perpaduan ini membuat penonton sulit masuk ke dalam dunia yang coba dibangun oleh sutradara Harald Zwart.
Review Spoiler
Cerita City of Bones dimulai ketika Clary menyadari bahwa dirinya dapat melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain. Ia kemudian bertemu Jace Wayland (Jamie Campbell Bower), seorang Shadowhunter, yang membawanya ke dunia yang dipenuhi iblis, vampir, warlock, dan makhluk supranatural lainnya.
Clary kemudian mengetahui bahwa ibunya diculik oleh Valentine Morgenstern, mantan Shadowhunter yang menjadi jahat. Ia ingin mendapatkan Mortal Cup, artefak kuat yang bisa mengendalikan iblis dan menciptakan Shadowhunter baru.
Masalah utama dalam film ini adalah narasi yang terlalu dipaksakan. Dalam waktu singkat, penonton diperkenalkan dengan terlalu banyak konsep: tentang Clave, Downworlders, warlock, Parabatai, dan sejarah Perang Malaikat. Bukannya membangun cerita perlahan, film justru menjejalkan semuanya sekaligus, yang membuat alur terasa kacau dan berat.
Twist bahwa Jace dan Clary ternyata adalah kakak-adik juga menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan emosional bagi penonton, terutama karena sebelumnya mereka sudah menunjukkan ketertarikan romantis. Meskipun pada akhirnya hal ini dikoreksi dalam seri novelnya, dalam film twist ini membuat penonton semakin enggan terikat secara emosional.
Valentine sebagai villain utama juga terasa kurang meyakinkan. Mads Mikkelsen awalnya sempat dirumorkan akan memerankan karakter ini, namun yang akhirnya muncul adalah Jonathan Rhys Meyers—yang sayangnya tampil terlalu teatrikal dan kurang memiliki aura ancaman yang kuat.
Akhir film pun terasa menggantung, mencoba membuka peluang untuk sekuel. Namun karena film ini gagal meraih keuntungan komersial, rencana kelanjutan langsung dibatalkan, yang meninggalkan penonton dengan rasa kecewa.
Kenapa Film Ini Gagal?
Ada beberapa faktor utama yang menjadikan City of Bones disebut gagal:
-
Adaptasi yang Terlalu Ambisius
Film ini mencoba memadatkan terlalu banyak elemen dari novel ke dalam satu film, membuat alur jadi berat dan membingungkan. -
Kurangnya Keterikatan Emosional
Karakter-karakternya kurang dikembangkan secara mendalam. Hubungan antara Clary dan Jace yang seharusnya menjadi inti, malah terasa kaku dan canggung. -
Tonasi yang Tidak Konsisten
Film tidak bisa memutuskan apakah ia ingin menjadi gelap dan serius, atau ringan dan romantis ala film remaja. -
Persaingan Ketat dengan Franchise Fantasi Lain
Dirilis di era kejayaan Harry Potter, Twilight, dan The Hunger Games, film ini kesulitan mencuri perhatian, apalagi dengan kualitas eksekusi yang tidak maksimal.
Kesimpulan
Shadowhunters: City of Bones seharusnya bisa menjadi franchise sukses dengan dunia yang kaya dan basis penggemar yang kuat. Namun sayangnya, eksekusi film yang tergesa-gesa, naskah yang kurang matang, serta pembangunan karakter yang lemah membuat film ini gagal menyampaikan potensi yang dimilikinya.
Bagi yang belum membaca bukunya, film ini mungkin hanya akan menjadi tontonan yang membingungkan. Namun bagi penggemar novelnya, film ini bisa menjadi kekecewaan besar karena gagal mewakili kedalaman dan kompleksitas cerita aslinya.
Untungnya, adaptasi serial TV Shadowhunters yang tayang di Freeform (2016–2019) mencoba memperbaiki banyak kekurangan dari versi film, meskipun tetap menuai pro dan kontra. Tapi satu hal pasti: film ini adalah bukti bahwa tidak semua novel laris cocok dijadikan film layar lebar—terutama jika tidak ditangani dengan hati-hati.